Jurnal Bunsay Leader Level 5

LITERASI ERA DIGITAL



Saat mengikuti pelatihan Self Motivation and Team Building bersama miss Yuli dan suami dahulu, ada games dimana para peserta diminta untuk membisikkan dua informasi yang berbeda ke teman yang berada di sebelah kanan dan kiri dimana para peserta pelatihan duduk dengan posisi membentuk lingkaran. Peserta harus membisikkan informasi yang menyertakan sumber berita utama. Dan sungguh sangat ‘lucu’ sekali, setelah informasi semakin jauh dari sumber berita, informasi tersebut ternyata mengalami perubahan dan sudah simpang siur. Hal ini bisa menggambarkan kenapa suatu informasi bisa berubah berdasarkan pemahaman masing-masing sehingga bisa jadi keluar dari tujuan asli informasi tersebut dibagikan.


Di era digital ini informasi sangat mudah didapat. Zaman sekarang ini telah mengantarkan kita pada suatu era di mana informasi mengalir tanpa henti, melewati batas negara, multilayar, yang dapat diakses oleh semua orang dimanapun berada. Bahasa terkininya era informasi ini sering kita sebut sebagai era digital. Zaman yang kita kenal dengan era digital membawa konsekuensi tersendiri bagi masyarakat negeri ini.

Informasi saat sekarang ini sangat mudah untuk didapat dan disebar, hanya bermodal jempol dan dalam waktu singkat akan tersebar kemana-mana. Bila informasi tersebut benar dan bermanfaat tentu tidak mengapa dan baik untuk disebarkan, tetapi jikalau informasi tersebut tidak benar walaupun nampaknya baik tentu hal ini bisa mendatangkan efek yang tidak baik. Apalagi bila yang menyebarluaskan informasi tersebut tidak mencari kebenaran dan sumber berita yang dapat dipercaya terlebih dahulu, inilah yang disebut oleh Anies Baswedan sebagai gawat darurat literasi.

Literasi saat ini memiliki arti yang sangat luas. Literasi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk membaca kehidupan, pengetahuan, dan keterampilan seseorang dalam bidang atau aktivitas tertentu. Perkembangan zaman dalam semua lini kehidupan yang semakin pesat tentunya mengubah konsep dan cara berliterasi yang mungkin dahulunya hanya terbatas pada buku, baca, dan tulis.

Menurut UNESCO, pemahaman orang tentang literasi sangat dipengaruhi oleh penelitian akademik, institusi, konteks nasional, nilai-nilai budaya dan pengalaman. Education Development Center (EDC) menyatakan bahwa literasi lebih dari sekedar kemampuan membaca dan menulis, namun lebih dari itu, literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan kemampuan yang dimiliki dalam hidupnya. Jadi dapat dipahami secara sederhana bahwa literasi mencakup kemampuan membaca kata dan membaca dunia.

Secara tradisional, kemampuan baca tulis telah dianggap sebagai perangkat pembacaan, penulisan dan penghitungan yang diterapkan dalam pengertian tertentu. Namun menurut Dirjen PAUD dan Dikmas Kemdikbud, Harris Iskandar bahwa literasi dasar bukan hanya calistung (baca tulis dan hitung) saja. Ada enam kemampuan literasi dasar menurut World Economic Forum yaitu: literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi teknologi informasi dan komunikasi atau literasi digital, literasi finansial, literasi sains, serta literasi budaya dan kewarganegaraan.

Pada dasarnya, mungkin banyak orang berpikir bahwa membaca hanya akan menghabis waktu dengan percuma dan tidak bermanfaat, sehingga mereka berpikir lebih baik melakukan aktivitas yang lain dari pada membaca, padahal dengan membaca kita dapat menambah wawasan serta ilmu pengetahuan untuk memperkaya intelektual, terutama di era digital ini.

Informasi yang faktual dengan data-data yang bisa dipertanggungjawabkan cenderung akan diabaikan kalau tidak sesuai dengan keyakinan. Sebaliknya, setidak masuk akal apapun sebuah informasi palsu, ia akan dipercaya sebagai sebuah kebenaran jika berada garis keyakinan yang sama dengan pengakses informasi. Fenomena Ini menjelaskan mengapa bahkan orang yang intelek sekalipun bisa dengan mudah percaya informasi palsu. Dengan kata lain, informasi-informasi palsu ibarat bensin yang disiramkan ke api.

Untuk menghadapi tantangan literasi zaman now, ada langkah-langkah bersama yang bisa kita lakukan.
Pertama, tradisi literasi perlu kita hadirkan guna menumbuhkan sikap pada individu selalu mengkaji dan melacak informasi hingga pada sumber primer dan tekstual. Dalam tradisi ini, individu mendahulukan nalar sebelum berbicara, berpikir kritis sebelum percaya.
Kedua, upaya sosialisasi terus-menerus tentang melek digital perlu dilakukan secara berkala. Pada saat yang sama, upaya membangun kesadaran itu juga dilakukan dengan menggarap segmen anak usia sekolah. Ketika kesadaran melek digital dibangun dari usia dini, maka antisipasi terhadap dampak negatif perkembangan digital dapat terbangun dari fondasinya.
Ketiga, masyarakat dengan level melek digital yang bervariasi juga harus dapat difasilitasi oleh pustakawan sehingga mereka dapat saling berbagi dan membangun program kolaboratif. Setiap orang yang memiliki potensi dapat saling belajar dan mengajar sehingga melek digital dapat diperkuat melalui komunitas masyarakat.
Keempat, menghadikan pustakanan akan lebih lengkap jika kita bersama-sama pemerintah mampu menghadirkan perpustakaan umum ataupun perpustakaan komunitas guna melakukan penguatan dalam melek digital karena digitalisasi memang membutuhkan budaya baru berupa keterbukaan, kemanfaatan, inklusif, dan merasakan pengalaman menggunakan kemajuan teknologi informasi.
Artinya, ketika kita berhasil membangun kesadaran melek digital pada  level siswa ataupun masyarakat, dampak negatif berupa informasi bohong, hasutan, atau ujaran kebencian di multimedia sekalipun dapat ditekan. Kita boleh berharap informasi negatif seperti itu tak akan mendapat tempat suatu saat nanti. Sebaliknya, jika minim atau rendahnya minat baca kita biarkan terjadi di negeri ini, maka tidak salah jika yang terjadi justru mengundang potensi negative pada dunia informasi di negeri ini, yang akhirnya masyarakat tidak siap dengan kemajuan itu, ekses negatif pun merebak.

Semoga kita bisa membangun budaya literasi sehingga tantangan literasi di era digital ini dapat kita hadapi.


Sumber Referensi:











Payakumbuh,   Juni 2018

Alisa G.

Comments

  1. Terima kasih tipsnya mba alisa. Semoga dengan tumbuhnya budaya literasi pada anak2 kita bisa mengurangi potensi kegawatdaruratan literasi di masa depan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama-sama mom. Semoga kegawatdaruratan literasi semakin hari semakin berkurang ya. Trimakasih udah mampir ^_^

      Delete
  2. Penting sekali meningkatkan semangat literasi 👍

    ReplyDelete
  3. Budaya literasi terbangun, hidup jadi rukun ya 😁👍🏻

    ReplyDelete
  4. Terima kasih sudah berbagi tips menghadapi literasi jaman now. ❤

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya sama-sama mbak. Trimakasih udah mampir ^_^

      Delete
  5. Membangun budaya literasi. Nah inilah salah satu tugas utama yang mudah diucapkan namun butuh konsistensi. Semoga lahir generasi peradaban yang berbudaya literasi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benerr bgt mbak. Butuh konsistensi. Dengan menulis jurnal ini saya juga merasa diingatkan lagi agar bisa terus konsisten membangun budaya literasi di keluarga yang terutama dulu.

      Delete
  6. Betul banget Mbaaa, literasi sangat diperlukan di era yang sekarang sudah serba mudah dalam menyebarkan informasi. Jika tidak disertai literasi, sebuat informasi dapat memecah belah persatuan dan kesatuan seperti yang banyak terjadi di sosial media saat ini. Karena itu, bersyukur sekali bergabung di IIP, "copas dari grup sebelah" menjadi haram diketik oleh seorang ibu profesional karena harus cek dan ricek serta mengetahui sumber berita yang sebenarnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mbak Nika. Banyak juga yang berdebat tentang sesuatu hal yang bahkan kebenarannya belum diketahui pasti.

      Delete

  7. Informatif mbk artikelnya. Dan terima kasih untuk tips yang diberikan dalam menghadapi tantangan literasi jaman now. Semoga kita para ibu konsisten memberi contoh yang baik untuk calon generasi masa depan tentang budaya literasi.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts